Kamis, April 10, 2008

DISLIPIDEMI

Definisi

Dislipidemi adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama ialah kenaikan kadar kolesterol total, LDL kolesterol, trigliserida, serta penurunan HDL. Dislipidemia berkaitan erat dengan aterosklerosis yaitu sebagai faktor utama aterosklerosis.Dislipidemia yang menyertai beberapa penyakit seperti diabetes melitus, hipotiroidisme, sindrom nefrotik, dan gagal ginjal kronik disebut sebagai dislipidemia sekunder.

Klasifikasi

Dislipidemia Primer

Banyak kelainan genetik dan bawaan dapat mengakibatkan dislipidemia primer.

· Hiperkolesterolemia poligenik

Merupakan hiperkolesterolemia yang paling sering ditemukan yang merupakan interaksi antara kelainan genetik yang multipel, nutrisi dan faktor-faktor lingkungan lainnya serta memiliki lebih dari satu dasar metabolik. Penyakit ini biasanya tidak disertai dengan xantoma

· Hiperkolesterolemia familial

Kelainan yang bersifat autosomal dominan dan terdapat dalam bentuk homozigot maupun heterozigot. Hiperkolesterolemia familial homozigot mengenai 1 antara 10000 orang dengan kadar kolesterol antara 600-1000 mg/dl, tidak dapat diiobati, serta menyebabkan penyakit kardiovaskuler dan stenosis aorta pada masa anak-anak da dewasa muda. Hiperkolesterolemia timbul karena peningkatan kadar kolesterol LDL yang disebabkan oleh kelainan fungsi atau jumlah reseptor LDL. Pada jenis heterozigot biasanya kadar kolesterol bervariasi antara 350-460 mg/dl dan bila nilai > 300 mg/dl pada dewasa atau >260 mg/dl pada usia dibawah 16 tahun perlu dicurigai adanya hiperkolesterolemia familial. Diagnosis dapat dibuat pada saat kelahiran dengan menggunakan darah yang berasal dari umbilikus. Trigliserid normal atau meningkat.

· Dislipidemia remnan

Peningkatan kolesterol dan trigliserida dengan berat bervariasi

· Hiperlipidemia kombinasi familial

Merupakan kelainan genetik metabolisme lipoprotein yang sering berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler, dengan angka kejadian sekitar 1 % dari jumlah penduduk. Meyoritas pasien menunjukkan peningkatan plasma Apo B.

· Sindrom kilomikron

Kelainan enzim lipoprotein lipase atau apolipoprotein C-II ini merupakan penyebab hipertrigliseridemia berat yang jarang ditemukan. Pada keadaan ini adanya hipertrigliseridemia dan kadar HDL kolesterol yang sangat rendah tidak mengakibatkan peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler.

Dislipidemia sekunder

Hiperkolesterolemia

Hipertrigliseridemia

Dislipidemia

Hipotiroid

DM, alkohol

Hipotiroid

Sindrom nefrotik

Obesitas

Sindrom nefrotik

Penyakit hati obstruktif

Gagal ginjal kronik

Gagal ginjal kronik

HIPOTIROIDISME

Pendahuluan

Status tiroid seseorang ditentukan oleh kecukupan sel atas hormon tiroid dan bukan karena kadar normal hormon tiroid dalam darah. Ada beberapa prinsip faali dasar yang perlu diingat kembali. Pertama, bahwa hormon yang aktif ialah free-hormon, kedua bahwa metabolisme sel didasarkan adanya free T3 bukan free-T4, ketiga bahwa distribusi enzim deyodinasi I,II dan II (DI,DII,DII) di berbagai organ tubuh berbeda, di mana DI banyak ditemukan di hepar, ginjal, dan tiroid. DII utamanya di otak, hipofisis dan DII hampir seluruhnya ditemukan di jaringan fetal (otak, plasenta). Hanya DI yang direm oleh PTU.

Etiologi

Penyebab dominan kegagalan tiroid yang ireversibel pada orang dewasa adalah tiroiditis automium kronis, hipotiroidisme iatrogenik yang disebabkan oleh penyinaran atau pembedahan mengangkat kelenjar tiroid, dan hipotiroidisme idiopatik. Sebab-sebab yang jarang dijumpai adalah lesi pada hipofise atau hipotalamus dengan defisiensi TSH, hipotiroidisme yang ditimbulkan oleh yodium, atau obat-obat antitiroid yang diminum ataupun zat-zat alami yang ada dalam makanan, misalnya goitrin dalam rutabagas, tiosianat dalam kubis, aminotriazoldalam cranberries. Hipotiroidisme sepintas dapat terjadi setelah pembedahan tiroid atau pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) atau selama serangan tiroiditis subakut. Tiroiditis automium yang kronis dapat dibagi menjadi bentuk yang lebih ringan, yaitu tiroiditis limfositik, atau manifestasi yang lebih bersifat full-blown, yakni penyakit Hashimoto.

Pengobatan hipertiroidisme dan penyakit kanker tiroid pada sebagian besar kasus menjadi penyebab timbulnya hipotiroidisme iatrogenik. Penyinaran dengan I131 merupakan terapi yang paling sering dilakukan untuk penyakit Graves atau adenoma hiperfungsi yang soliter. Lebih dari 50% pasien penyakit Graves yang mendapatkan I131 dengan dosis terapeutik akhirnya akan mengalami hipotiroidisme. Sebaliknya, hipertiroidisme yang berkaitan dengan penyakit goiter yang nodular jarang menyebabkan hipotiroidisme kalau diterapi dengan I131.

Tiroidektomi merupakan terapi pilihan untuk sebagian kasus hipertiroidisme (pasien penyakit Graves tertentu dan sebagian besar pasien penyakit goiter multinodular) dan semua kasus penyakit kanker yang dicurigai atau sudah dipastikan. Hipotiroidisme selalu menjadi hasil akhir penyakit kanker tiroid, karena tujuan terapi adalah ablasi total kelenjar tersebut, tujuan ini biasanya tercapai melalui tiroidektomi subtotal radikal yang diikuti oleh penyinaran I131 dengan dosis tinggi.

Hipotiroidisme idiopatik pada orang dewasa umumnya dianggap sebagai akibat dari tiroiditis automium kronis yang tidak terdiagnosis. Yang menyokong teori ini adalah ditemukannya antobodi antitiroid di dalam serum sekalipun antibodi ini cenderung menghilang pada tiroiditis kronis ketika kelenjar tiroid mencapai stadium atrofi yang lanjut. Bukti sitologik langsung untuk penjelasan ini tidak banyak, karena pemeriksaan biopsi ataupun pungsi terhadap kelenjar tiroid yang mengalami atrofi atau tidak teraba itu tidak dibenarkan.

Patogenesis dan Patofisiologi

Penyakit Hashimoto merupakan suatu proses inflamasi automium pada kelenjar tiroid. Antibodi yang tertuju kepada kelenjar tiroid dan terdiri atas 4 tipe ditemukan dalam serum penderita penyakit tersebut, namun unsur pengantara terjadinya besi lesi infalamatorik serta sitotoksik tetap belum diketahui. Antibodi penghambat yang mengikat reseptor TSH, menggusur TSH dari tempat itu, telah didapatkan dan bisa menjadi penyebab terjadinya penurunan fungsi kelenjar tiroid. Akhir-akhir ini diperlihatkan bahwa antibodi antimikrosom ternyata merupakan antigen yang menjadi sasaran enzim peroksidasetiroi d. Hal ini dapat menerangkan mengapa sintesis hormon tiroid dalam situasi ini menjadi tidak efisien. Dengan berlanjutnya penyakit tersebut, penghancuran folikel-folikel tiroid akan terlihat dalam pemeriksaan histologi bersama-sama infiltrasi limfositik yang hebat dan perubahan eosinofilik dalam sitoplasma sel-sel epitel tiroid. Pada sebagian kasus timbul fibrosisdan kelenjar tersebut akhirnya tidak mengandung epitelium tiroid lagi.

Hipotiroidisme sesudah terapi I131 sulit diramalkan terjadinya karena patogenesis peristiwa ini belum dipahami sepenuhnya. Pada penyakit Graves, perubahan patologik yang berkaitan dengan penyakit Hashimoto sering terlihat secara bersamaan, namun adanya infiltrasi limfositik sebelu terapi I131 bukan sebagai indikator baik untuk meramalkan timbulnya hipotiroidisme sebagai perkembangan berikutnya. Banyak kasus hipotiroidisme muncul selama tahun pertama setelah dilakukan terapi I131 namun kasus-kasu yang baru terus bermunculan dengan frekuensi 2 hingga 5% per tahun selama 15 atau 20 tahun berikutnya. Hubungan yang linier dengan waktu ini menunjukkan bahwa terapi penyinaran menghasilkan efek penundaan dengan lama penundaan yang bervariasi secara luas. Keadaan ini cocok dengan pronsip biologi radiasi yang sudah diterima. Hipotiroidisme dini tampaknya berhubungan dengan dosis radioterapi dan disebabkan oleh tiroiditis radiasi yang akut, sementara dosis yang rendah tampaknya menjadi penyebab kegagalan replikasi DNA sehingga prose penggantian sel tiroid terhenti dan akhirnya timbul hipotiroidisme.

Di lain pihak, keberadaan penyakit tiroidtis Hashimoto prabedah meramalkan suatu insidensi hipotiroidisme yang lebih tinggi setelah dilakukannya tiroidektomi subtotal untuk penyakit Graves. Ukuran sisa kelenjar tiroid yang ditinggalkan oleh dokter bedah dan keutuhan pasokan darahnya secara alami juga menentukan kemungkinan terjadinya hipotiroidisme.

Frekuensi timbulnya antibodi antititoid dalam serum dan adanya bukti klinis atau histologis yang menunjukkan penyakit Hashimoto meningkat secara tajam dengan pertambahan usia, khususnya di antara para wanita. Jadi, kemungkinan timbulnya hipotiroidisme, entah spontan atau sesudah tiroidektomi subtotal, akan meningkat di antara para lanjut usia. Lebih lanjut, DNA pada orang yang lanjut usia lebih rentan terhadap kerusakan yang ditimbulkan radiasi dan kurang dapat pulih kembali sehingga kejadian hipotiroidisme pasca radioterapi I131 juga meningkat bersamaan dengan pertambahan usia.

Keluhan dan Gejala

Hipotiroidisme pada lanjut usia merupakan salah satu masquerader (keadaan tersembunyi atau tersamar) utama. Gambaran kliknya biasanya meragukan atau tidak jelas. Yang paling sering terjadi, gejala tersebut dianggap sebagai akibat dari proses penuaan, yaitu keluhan mudah letih, hilangnya kemauan, depresi, mialgia, konstipasi dan kulit yang kering. Kurang dari 1/3 pasien lanjut usia yang menderita hipotiroidisme ditemukan dengan kompleks keluhan dan gejala yang klasik tersebut. Sebagian besar akan mengalami sindrom nsonspesifik yang umum terdapat pada orang lanjut usia yang rapuh yaitu mental confusion , anoreksia, penurunan berat badan, sering terjatuh, inkontenensia dan berkurangnya kemampuan gerak atau mobilisasi, plus gejal di atas. Gejala muskuloskeletal, termasuk artalgia, sering terdapat namun gejala artritis jarang dijumpai. Rasa pegal dan kelemahan otot, yang sering meniru penyakit rematika polimialgia atau polimiositis, dan kenaikan kadar kreatin kinase pada hipotiroidisme membuat diagnosis banding menjadi lebih sulit langi.

Hasil-hasil dari pemeriksaan jasmani juga sulit untuk ditafsirkan. Gejala pembengkakan di sekeliling mata dan wajah yang miksedematosa sulit dibedakan dengan perubahan wajah normal yang menyertai pertambahan usia. Bahkan tanda yang lebih dapat diandalkan, yaitu waktu relaksasi postkontraksi muskular yang memanjang, mungkin tidak ada karena terjadinya penurunan amplitudo atau tidak terdapatnya refleks yang normal. Efusi yang bersifat noninflamasi dapat ditemukan dalam persendian dan kavum pleural, perikardial serta peritoneal sehingga menambah kebingungan diagnostik.

Diagnosis

Sebaiknya diagnosis ditegakkan selengkap mungkin: diagnosis klinis-subklinis, primer-sentral, kalau mungkin etiologinya. Karena sebagian besar etiologi hipotiroidisme adalah Hipotiroidisme Primer (HP), kemungkinan HP kecil apabila dicumpai TSH normal. Pada wanita hamil (termasuk pengguna kontrasepsi oral) karena perubahan pada TBG, memeriksa TSH,FT4 dan FT3 merupakan langkah tepat. Kadang FT4 wanita hamil agak naik sehingga memeriksa FT3 masih relevan. Apabila memungkinkan wanita hamil dengan hipotiroidisme diperiksa juga antibodi (anti-Tg-Ab, anti AM-Ab) Indeks diagnostik Billewicz, analog dengan indeks Wayne dan New Castle pada hipertiroidisme, juga tersedia untuk memisahkan antara eutiroidisme dan hipotiroidisme. Interpretasi skor : bukan hipotiroidisme kalau skor ≤ -30, diagnostik apabila skor >25 dan meragukan apabila skor antara –29 dan + 24 dan dibutuhkan pemeriksaan konfirmasi.

Penatalaksanaan

Yang perlu diperhatikan ialah

a. dosis awal

b. cara menaikkan dosis tiroksin

Tujuan pengobatan hipotirodisme ialah :

1. Meringankan keluhan dan gejala

2. Menormalkan metabolisme

3. Menormalkan TSH (bukan mensupresi)

4. Membuat T3 dan T4 normal

5. Menghindarkan komplikasi dan risiko

Beberapa prinsip dapat digunakan dalam melaksanakan substitusi

a. Makin berat hipotiroidisme makin rendah dosis awal dan makin landai peningkatan dosis

b. Geriatri dengan angina pektoris,CHF, gangguan irama, dosis harus hati-hati

Prinsip substitusi ialah mengganti kekurangan produksi hormon tiroid-endogen pasien. Indikator kecukupan optimal sel ialah kadar TSH normal. Dosis supresi tidak dianjurkan, sebab ada risiko gangguan jantungdan densitas mineral. Tersedia L-Tiroksin (T3), L-triodotironin (T4) maupun pulvus tiroid. Pulvus tidak digunakan lagi karena efeknya sulit diramalkan. T3 tidak digunkan sebagai substitusi karena waktu paruhnya pendek hingga perlu diberikan beberapa kali sehari. Obat oral terbaik ialah T3. Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa kombinasi pengobatan T4 dan T3 (50ug T4 diganti 12,5 ug T3) memperpaiki mood dan faal neuropsikologis.

Tiroksin dianjurkan diminum pagi hari dalam keadaan perut kosong dan tidak bersama bahan lain yang mengganggu serapan dari usus. Contohnya pada penyakit sindrom malabsorbsi, short bowel syndrome, sirosis, obat (sukralfat, aluminium hidroksida, kolestiramin, kalsium karbonat, dilantin, rifampisin, fenobarbiturat) meningkatkan sekresi empedu dosis rerata substitusi L-T ialah 112 ug/hari atau 1,6 ug/kgBB atau 100-125 mg sehari. Untuk L-T 25-50 ug. Kadar TSH awal seringkali dapat digunalan patokan dosis pengganti : TSH 20 uU/ml butuh 50-75 ug tiroksin sehari TSH 44-71 uU/ml butuh 100-150.Sebagian besar kasus butuhkan 100-200 ug L-T4 sehari.

Rabu, April 09, 2008

GRAVE'S DISEASE

Grave's disease adalah suatu kelainan kelenjar tiroid yang dicirikan dengan pembesaran kelenjar tiroid, exopthalmus, kulit selalu basah, dan hipertiroidisme

Graves’ disease biasanya terjadi pada usia sekitar tiga puluh dan empat puluh dan lebih sering ditemukan pada wanita daripada pria. Terdapat predisposisi familial terhadap penyakit ini dan sering berkaitan dengan bentuk-bentuk endokrinopati autoimun lainnya. Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama, tiroidal dan ekstratiroidal, dan keduanya mungkin tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid, dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.

Patomekanisme

Penyakit graves’ timbul sebagai manifestasi gangguan autoimun. Dalam serum pasien ditemukan antibodi immunoglobulin (IgG). Antibodi ini bereaksi dengan reseptor TSH atau membran plasma tiroid. Sebagai akibat interaksi ini antibodi tersebut dapat merangsang fungsi tiroid tanpa tergantung dari TSH hipofisis, yang dapat mengakibatkan hipertiroidisme. Ada tiga jenis antitiroid antibodi yang ditemukan pada penyakit Graves.

· Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI) yang mampu mengimitasi fungsi TSH yaitu memacu pengeluaran hormon tiroid secara terus menerus.

· Thyroid Growth-Stimulating Immunoglobulin

· Thryoid Binding-Inhibitory Immunoglobulin (TBII) yang mampu mengimitasi fungsi TSH sekaligus mampu memblokir ikatan antara TSH dengan reseptornya.

Gejala

Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardia, daire, dan kelemahan serta atrofi otot. Keterlibatan susunan saraf ditandai oleh kewaspadaan mental yang berlebihan sampai pada keadaan pasien yang mudah tersinggung, tegang, cemas, dan sangat emosional. Manifestasi ekstratiroidal berupa : oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai oleh mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), dan kegagalan konvergensi.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah:

Ø T4, T3 serum (pada tirotoksikosis hanya T3 yang mungkin meningkat, T4 mungkin dalam batas normal)

Ø Antibody tiroid (antitiroid globulin dan antibody antimikrosomal) mungkin sedikit meningkat pada penyakit Graves’.

Ø ‘Uptake’ yodium radioaktif dan scan pada kasus-kasus tertentu.

Komplikasi pada Grave’s disease

Ø Penyakit jantung tiroid (PJT) . Diagnosis ditegakkan bila terdapat tanda-tanda dekompensasi jantung (sesak, edem dll), hipertiroid dan pada pemeriksaan EKG maupun fisik didapatkan adanya atrium fibrilasi.

Ø Krisis Tiroid (Thyroid Storm). Merupakan suatu keadaan akut berat yang dialami oleh penderita tiritoksikosis (life-threatening severity). Biasanya dipicu oleh faktor stress (infeksi berat, operasi dll). Gejala klinik yang khas adalah hiperpireksia, mengamuk dan tanda tanda-tanda hipertiroid berat yang terjadi secara tiba-tiba

Ø Periodic paralysis thyrotocsicosis ( PPT).

Terjadinya kelumpuhan secara tiba-tiba pada penderita hipertiroid dan biasanya hanya bersifat sementara. Dasar terjadinya komplikasi ini adalah adanya hipokalemi akibat kalium terlalu banyak masuk kedalam sel otot. Itulah sebabnya keluhan PPT umumnya terjadi setelah penderita makan (karbohidrat), oleh karena glukosa akan dimasukkan kedalam selh oleh insulin bersama-sama dengan kalium (K channel ATP-ase)

Ø Komplikasi akibat pengobatan. Komplikasi ini biasanya akibat overtreatment (hipotiroidisme) dan akibat efek samping obat (agranulositosi, hepatotoksik)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari penyakit Graves’ disease adalah sebagai berikut

Ø Pengobatan jangka panjang

Dengan obat-obat antitiroid seperti propiltiourazil (PTU), metimazol, dan Carbimazole (dirubah dengan cepat menjadi metimazole setelah diminum), yang diberikan paling sedikit selama 1 tahun. Biasanya diberikan pada dengan dosis awal 100 – 150 mg per enam jam ( PTU ) atau 30 – 40 mg (Metimazole/carbimazole) per 12 jam. Biasanya remisi spontan akan terjadi dalam waktu 1 – 2 bulan. Pada saat itu dosis obat dapat diturunkan menjadi 50-200mg (dalam dosis terbagi/ 2kali sehari) untuk PTU atau 5 – 20 mg (dosis 1-2 kali sehari) untuk Metimazole. Dosis maintenance ini dapat diberikan hingga 2 tahun untuk mencegah relaps. Obat-obat ini menghambat sintesis dan pelepasan tiroksin

Ø Pembedahan tiroidektomi subtotal sesudah terapi propiltiourazil prabedah.

Biasanya dilakukan subtotal tiroidektomi dan merupakan pilihan untuk penderita dengan pembesaran kelenjar gondok yang sangat besar atau multinoduler. Operasi hanya dilakukan setelah penderita euthyroid (biasanya setelah 6 minggu setelah pemberian OAT) dan dua minggu sebelumnya harus dipersiapkan dengan pemberian larutan kalium yodida (lugol) 5 tetes 2 kali sehari (dianggap dapat mengurangi vaskularisasi sehingga mempermudah operasi)

Ø Pengobatan dengan yodium radioaktif

Pengobatan dengan yodium radioaktif dilakukan pada kebanyakan pasien dewasa penderita Graves. Biasanya tidak dianjurkan (kontraindikasi) untuk anak-anak dan wanita hamil. Pada kasus goiter.

Ø Pilihan obat lainnya

· Beta blocker. Propranolol 10 – 40 mg/hari (tid) berfungsi untuk mengontrol gejala takikardia, hipertensi dan fibrilasi atrium. Dapat pula sebagai obat pembantu OAT oleh karena juga menghambat konversi T4 ke T3 [6].

· Barbiturate . Phenobarbital digunakan sebagai obat penenang ( sedataif) dan juga dapat mempercepat metabolisme T4 sehingga dapat menurunkan kadar T4 dalam darah [6].

METABOLIC SYNDROME

What is the metabolic syndrome?

The metabolic syndrome is characterized by a group of metabolic risk factors in one person. They include:

  • Obesitas sentral
  • Atherogenic dyslipidemia (blood fat disorders — mainly high triglycerides and low HDL cholesterol — that foster plaque buildups in artery walls)
  • Insulin resistance or glucose intolerance (the body can’t properly use insulin or blood sugar)
  • Prothrombotic state (e.g., high fibrinogen or plasminogen activator inhibitor [–1] in the blood)
  • Raised blood pressure (130/85 mmHg or higher)
  • Proinflammatory state (e.g., elevated high-sensitivity C-reactive protein in the blood)

The underlying causes of this syndrome are overweight/obesity, physical inactivity and genetic factors. People with the metabolic syndrome are at increased risk of coronary heart disease, other diseases related to plaque buildups in artery walls (e.g., stroke and peripheral vascular disease) and type 2 diabetes.

How common is metabolic syndrome?

Metabolic syndrome is quite common. Approximately 20-30% of the population in industrialized countries have metabolic syndrome. By the year 2010, the metabolic syndrome is expected to affect 50-75 million people in the US alone.

Who has the metabolic syndrome?

The metabolic syndrome has become increasingly common in the United States. It’s estimated that about 47 million U.S. adults have it.

The syndrome is closely associated with a generalized metabolic disorder called insulin resistance, in which the body can’t use insulin efficiently. This is why the metabolic syndrome is also called the insulin resistance syndrome.

Some people are genetically predisposed to insulin resistance. Acquired factors, such as excess body fat and physical inactivity, can elicit insulin resistance and the metabolic syndrome in these people. Most people with insulin resistance have central obesity. The biologic mechanisms at the molecular level between insulin resistance and metabolic risk factors aren’t fully understood and appear to be complex.

When to seek medical advice

If you know you have at least one aspect of metabolic syndrome — such as high blood pressure, high cholesterol or an apple-shaped body — you may have the others and not know it. It's worth checking with your doctor. Ask whether you need testing for other components of the syndrome and what you can do to avoid serious diseases.


How is the metabolic syndrome diagnosed?

There are no well-accepted criteria for diagnosing the metabolic syndrome. The criteria proposed by the Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) are the most current and widely used.

According to the ATP III criteria, the metabolic syndrome is identified by the presence of three or more of these components:

  • Central obesity as measured by waist circumference:
    Men — Greater than or equal to 40 inches Women — Greater than or equal to 35 inches
  • Fasting blood triglycerides greater than or equal to 150 mg/dL
  • Blood HDL cholesterol:
    Men — Less than 40 mg/dL
    Women — Less than 50 mg/dL
  • Blood pressure greater than or equal to 130/85 mmHg
  • Fasting glucose greater than or equal to 100 mg/dL

The ATP III panel did not find evidence to recommend routine measurement of insulin resistance (e.g., increased fasting blood insulin), prothrombotic state or proinflammatory state.

What causes metabolic syndrome?

As is true with many medical conditions, genetics and the environment both play important roles in the development of the metabolic syndrome.

Genetic factors influence each individual component of the syndrome, and the syndrome itself. A family history that includes type 2 diabetes, hypertension, and early heart disease greatly increases the chance that an individual will develop the metabolic syndrome.

Environmental issues such as low activity level, sedentary lifestyle, and progressive weight gain also contribute significantly to the risk of developing the metabolic syndrome.

Metabolic syndrome is present in about 5% of people with normal body weight, 22% of those who are overweight and 60% of those considered obese. Adults who continue to gain 5 or more pounds per year raise their risk of developing metabolic syndrome by up to 45%.

While obesity itself is likely the greatest risk factor, others factors of concern include:

* women who are post-menopausal,

* smoking,

* eating an excessively high carbohydrate diet,

* lack of activity (even without weight change), and

* consuming an alcohol-free diet.

*

Why should you know about metabolic syndrome?

Metabolic syndrome is worth caring about because it is a condition that can pave the way to both diabetes and heart disease, two of the most common and important chronic diseases today.

Metabolic syndrome increases the risk of type 2 diabetes (the common type of diabetes) anywhere from 9-30 times over the normal population. That's a huge increase. As to the risk of heart disease, studies vary, but the metabolic syndrome appears to increase the risk 2-4 times that of the normal population.

There are other concerns as well that should be mentioned. Metabolic syndrome is associated with fat accumulation in the liver (fatty liver), resulting in inflammation and the potential for cirrhosis. The kidneys can also be affected, as there is an association with microalbuminuria -- the leaking of protein into the urine, a subtle but clear indication of kidney damage.

Other problems associated with metabolic syndrome include obstructive sleep apnea, polycystic ovary syndrome , increased risk of dementia with aging, and cognitive decline in the elderly.

What is the treatment?

Tackling one of the risk factors of metabolic syndrome is tough — taking on all of them might seem overwhelming. But aggressive lifestyle changes and, in some cases, medication can improve all of the metabolic syndrome components. Getting more physical activity, losing weight and quitting smoking help reduce blood pressure and improve cholesterol and blood sugar levels. These changes are key to reducing your risk.

  • Exercise. Doctors recommend getting 30 to 60 minutes of moderate intensity exercise, such as brisk walking, every day.
  • Lose weight. Losing as little as 5 percent to 10 percent of your body weight can reduce insulin levels and blood pressure and decrease your risk of diabetes.
  • Eat healthy. The Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) diet and the Mediterranean Diet, like many healthy-eating plans, limit unhealthy fats and emphasize fruits, vegetables, fish and whole grains. Both of these dietary approaches have been found to offer important health benefits - in addition to weight loss - for people who have components of metabolic syndrome. Ask your doctor for guidance before starting a new eating plan.
  • Stop smoking. Smoking cigarettes increases insulin resistance and worsens the health consequences of metabolic syndrome. Talk to your doctor if you need help kicking the cigarette habit.

Work with your doctor to monitor your weight and your blood glucose, cholesterol and blood pressure levels to ensure that lifestyle modifications are working. If you're not able to achieve your goals with lifestyle changes, your doctor may also prescribe medications to lower blood pressure, control cholesterol or help you lose weight. Insulin sensitizers may be prescribed to help your body use insulin more effectively. Aspirin therapy may help reduce your risk of heart attack and stroke.

How to Prevention?

Whether you have one, two or none of the components of metabolic syndrome, the following lifestyle changes will reduce your risk of heart disease, diabetes and stroke:

  • Commit to a healthy diet. Eat plenty of fruits and vegetables. Choose lean cuts of white meat or fish over red meat. Avoid processed or deep-fried foods. Eliminate table salt and experiment with other herbs and spices.
  • Get moving. Get plenty of regular, moderately strenuous physical activity.
  • Schedule regular checkups. Check your blood pressure, cholesterol and blood sugar levels on a regular basis. Make additional lifestyle modifications if the numbers are going the wrong way.

important for patients and their doctors:

  • Routinely monitor body weight (especially the index for central obesity), blood glucose, lipoproteins and blood pressure.
  • Treat individual risk factors (hyperlipidemia, hypertension and high blood glucose) according to established guidelines.
  • Carefully choose anti-hypertensive drugs because different agents have different effects on insulin sensitivity.

Summary

The term “metabolic syndrome” is a way of identifying individuals at high risk for the development of heart disease and diabetes. Intuitively we all know that obesity, high cholesterol, and hypertension are bad omens. We also know that insulin resistance precedes type 2 diabetes, and can itself be an important condition meriting treatment. Everyone reading this article knows someone who is overweight, hypertensive, or has cholesterol levels that are “a little high.” It may be a brother, sister, parent, neighbor, or even yourself.

For the physician, while the actual definition of "metabolic syndrome" may vary, the known clustering that occurs means that adults with any major cardiovascular risk should be evaluated for the presence of other risk factors. Patients at risk should receive education and counseling on lifestyle modification, and all risk factors for heart disease should be treated aggressively.

For the patient, the main point to understand is that it is important to treat the risk factors as bad things, before worse things happen. And while these changes can be addressed at a doctor's office, the other 99.999% of the time, they need to be addressed in the real world. We need to start having healthier food options readily available. We need to have time during the day to take a walk.

We basically need to restructure some fundamentals in our society. This author believes this has to happen, but it will take time. Until then, we each need to surround ourselves with people who support our goals and needs. We need to be aware of our own heath, and to make whatever changes we can to improve it.

The final take home message is:

* Find a walk buddy.

* Take a walk during your work break, even if it is just around the building.

* Go to a health food store.

* Look at what you feed your kids.

* Urge them to get outside and play.

It all adds up. Preventing metabolic syndrome really means having a healthy lifestyle.

OBESITAS & DIABETES MELITUS

A. OBESITAS

v Definisi:

Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Faktor genetik diketahui sangat berperan bagi perkembangan penyakit ini. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan.

v Klasifikasi:

Tabel kriteria dan klasifikasi obesitas untuk wilayak Asia Pasifik sebagai berikut.

Klasifikasi

IMT (kg/m2)

Resiko Ko-Morbiditas

Lingkar Perut

<>)

<>)

≥ 90 cm ()

≥ 80 cm ()

BB kurang

BB normal

BB lebih

Beresiko

Obes I

Obes II

<>

18,5 – 22,9

≥ 23,0

23 – 24,9

25,0 – 29,9

≥ 30,0

Rendah*

Sedang

Meningkat

Moderat

Berat

Sedang

Meningkat

Moderat

Berat

Sangat berat

*Resiko meningkat pada masalah klinis lain

Jumlah lemak tubuh dapat ditentukan in vivo dengan cara menimbang di bawah permukaan air, Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA) atau dengan mengukur tebal lipatan kulit.

Obesitas dapat disebabkan oleh banyak hal. Berat bada seseorang 40-70% ditentukan secara genetik. BB dipengaruhi lingkungan, kebiasaan makan, kurangnya kegiatan fisik, dan kemiskinan/kemakmuran. Obesitas pada perempuan berakar pada obesitas masa kecil, obesitas pada laki-laki terjadi setelah umur 30 tahun.

v Epidemiologi obesitas:

Saat ini diperkirakan jumlah orang di seluruh dunia dengan IMT = 30 kg/m2 melebihi 250 juta orang, yaitu sekitar 7% dari populasi orang dewasa di dunia. Insidensi obesitas di negara-negara berkembang makin meningkat, sehingga saat ini banyaknya orang dengan obesitas di dunia hampir sama jumlahnya dengan mereka yang menderita karena kelaparan. Beban finansial, resiko kesehatan, dan dampak pada kualitas hidup berhubungan dengan epidemi tersebut.

v Hubungan obesitas sentral dengan resistensi insulin dan dislipidemia:

Resistensi insulin pada obesitas sentral diduga merupakan penyebab sindrom metabolik. Insulin mempunyai peran penting karena berpengaruh baik pada penyimpanan lemak maupun sintesis lemak dalam jaringan adiposa. Resistensi insulin dapat menyebabkan terganggunya proses penyimpanan lemak maupun sintesis lemak.

Hubungan sebab-akibat (kausatif) antara resistensi insulin dengan penyakit jantung koroner dan stroke dapat diterangkan dengan adanya efek anabolik insulin. Insulin merangsang lipogenesis pada jaringan arterial dan jaringan adiposa melalui peningkatan produksi Acetyl Co-A, meningkatkan asupan trigliserida dan glukosa. Dislipidemia yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi trigliserida dan penurunan kolesterol HDL merupakan akibat dari pengaruh insulin terhadap Cholesterol Ester Transfer Protein (CETP) yang memperlancar transfer Cholesterol Ester (CE) dari HDL ke VLDL (trigliserida) dan mengakibatkan terjadinya katabolisme dari apoA, komponen protein HDL. Resistensi insulin dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkuntan. Jenis kelamin mempengaruhi sensitivitas insulin dan otot rangka laki-laki lebih resisten dibandingkan perempuan.

v Manajemen BB pada pasien overweight dan obesitas:

Terapi penurunan BB yang sukses meliputi 4 pilar, yaitu diet rendah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku, dan obat-obatan/bedah.

Terapi diet direncanakan berdasarkan individu. Pengukuran kebutuhan energi basal pasien dapat menggunakan rumus Harris-Benedict:

: BEE = 66,5 + (13,7 x kg) + (5,003 x cm) – (6,775 x umur)

: BEE = 655,1 + (9,563 x kg) + (1,850 x cm) – (4,676 x umur)

Kebutuhan energi total sama dengan BEE dikali dengan jumlah faktor stress dan aktivitas, yang berkisar dari 1,2 sampai lebih dari 2. Di samping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya ≤ 30% dari total kalori. Pengurangan persentase lemak dalam menu sehari-hari saja tidak dapat menyebabkan penurunan BB, kecuali total kalori juga berkurang. Ketika asupan lemak dikurangi, prioritas harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh, untuk menurunkan kadar kolesterol-LDL.

Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program penurunan BB. Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan peningkatan BB. Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi pengurangan resiko kardiovaskuler dan diabetes yang lebih banyak.

Untuk mencapai penurunan BB dan mempertahankannya, diperlukan suatu strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi diet dan aktivitas fisik. Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus kontrol, pemecahan masalah, contigency management, cognitive restructuring, dan dukungan sosial.

Farmakoterapi merupakan salah satu komponen penting dalam program penurunan BB. Sibutramin dan orlistat merupakan obat-obatan penurun berat badan yang telah disetujui untuk penggunaan jangka panjang.

Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan BB, hanya diberikan kepada pasien obesitas berat, dan harus dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasien yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang ekstrem.

B. DIABETES MELITUS

v Definisi

Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. World Health Organization (WHO) merumuskan bahwa DM dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolute atau relatif dan gangguan fungsi insulin.

v Epidemiologi

Prevalensi DM di seluruh dunia mengalami peningkatan yang sangat pesat selama 2 dekade terakhir. Selain itu, prevalensi glukosa darah puasa terganggu (GDPT atau impaired fasting glucose) juga meningkat. Walaupun prevalensi DM tipe 1 dan 2 meningkat, tetapi prevalensi DM tipe 2 diperkirakan meningkat lebih cepat pada masa mendatang karena peningkatan tingkat obesitas dan pengurangan aktivitas. DM meningkat sejalan usia. Tahun 2000, prevalensi DM diperkirakan 0,19% pada usia <> 20 tahun. Pada usia >65 tahun prevalensi DM 20,1%. Prevalensi ini sama pada pria dan wanita pada hampir semua usia, tetapi sedikit lebih besar pada pria usia > 60 tahun.

Diperkirakan ada variasi geografis pada insidens DM tipe 1 dan 2. Scandinavia memiliki insidens tertinggi DM tipe 1, sementara Pacific Rim memiliki insidens yang jauh lebih rendah untuk DM tipe 1. Eropa Utara dan Amerika Serikat memiliki rasio intermediet. Kebanyakan peningkatan resiko DM tipe 1 diyakini mencerminkan frekuensi alel HLA resiko tinggi di antara kelompok etnik di berbagai lokasi geografis yang berbeda. Prevalensi DM tipe 2 dan toleransi glukosa terganggu (TGT atau impaired glucose tolerance) paling tinggi di pulau-pulau Pasifik tertentu, intermediet di India dan Amerika Serikat, dan relatif rendah di Rusia dan Cina. Keanekaragaman ini kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik, perilaku, dan lingkungan. Prevalensi DM juga bervariasi di antara populasi etnik yang berbeda pada suatu negara.

v Klasifikasi

Berdasarkan American Diabetes Association (ADA), diabetes mellitus dibagi menjadi 4 kelas sebagai berikut.

1. Diabetes mellitus tipe 1, yang dikenal sebagai diabetes mellitus tergantung insulin (insulin-dependent diabetes mellitus atau IDDM) atau juvenile-onset diabetes. Diabetes mellitus tipe 1 ini pada dasarnya disebabkan penghancuran (destruksi) sel β, yang umumnya mengakibatkan defisiensi insulin absolut. Tipe ini terbagi 2, yaitu:

o Melalui proses imunologik

o Idiopatik

2. Diabetes mellitus tipe 2, yang dikenal sebagai diabetes mellitus tidak tergantung insulin (non insulin-dependent diabetes mellitus atau NIDDM) atau adult-onset diabetes. Diabetes mellitus tipe 2 ini bervariasi, mulai yang predominan pada resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.

3. Diabetes mellitus tipe lain

o Defek genetik pada fungsi sel β

o Defek genetik pada kerja insulin

o Penyakit pada kelenjar eksokrin pankreas

o Endokrinopati

o Induksi obat-obatan atau bahan kimia

o Infeksi

o Mekanisme imunologik (jarang)

o Sindrom genetik lainnya

4. Diabetes mellitus gestasional (diabetes kehamilan)

v Manifestasi Klinis

DM sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi, antara lain:

- Gejala klasik berupa polidipsia, poliuria, polifagi, dan berat badan menurun.

- Kelainan kulit berupa gatal, biasanya teradapat di daerah genital ataupun daerah lipatan kulit lain seperti di ketiak dan di bawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur. Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul-bisul atau luka yang lama tidak mau sembuh. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti luka lecet karena sepatu, tertusuk peniti, dan sebagainya.

- Pada wanita, kelainan ginekologis berupa keputihan merupakan salah satu keluhan yang sering menyebabkan pasien dating ke dokter ahli kebidanan dan sesudah diperiksa lebih lanjut ternyata DM yang menjadi latar belakang keluhan tersebut. Juga dalam hal ini, jamur, terutama Candida, merupakan sebab tersering timbulnya keputihan ini. Pada pasien laki-laki, terkadang keluhan impotensi menyebabkan ia datang berobat ke dokter.

- Kesemutan dan rasa baal akibat sudah terjadinya neuropati, juga merupakan keluhan pasien, di samping keluhan lemah dan mudah merasa lelah.

- Keluhan lain yang mungkin menyebabkan pasien datang berobat ke dokter ialah keluhan visus yang menurun atau mata kabur yang disebabkan katarak, ataupun gangguan refraksi akibat perubahan-perubahan pada lensa oleh hiperglikemia. Mungkin pula keluhan kabur tersebut disebabkan kelainan pada corpus vitreum. Diplopia binocular akibat kelumpuhan sementara otot bola mata dapat pula merupakan salah satu sebab pasien berobat ke dokter mata.

- DM mungkin pula ditemukan pada pasien yang berobat untuk infeksi saluran kemih dan untuk tuberkulosis paru, sehingga pada mereka harus diwaspadai akan kemungkinan adanya penyakit DM yang mendasarinya. Jika kepada mereka kemudian ditanyakan dengan teliti mengenai gejala dan tanda-tanda DM, pada umumnya juga akan dapat ditemukan gejala khas DM, yaitu poliuria akibat diuresis osmotik, polidipsia, polifagi, dan berat badan yang menurun. Pada keadaan yang berat, poliuria dan polidipsia segera diikuti oleh rasa lemah yang hebat, anoreksia, mual, muntah, dan terkadang nyeri perut. Pada keadaan yang lebih berat lagi, dapat terjadi gejala kesadaran menurun sampai koma dengan gejala khas koma hiperglikemik, yaitu terjadi penurunan kesadaran, dehidrasi, dan pernapasan Kussmaul.

v Komplikasi

1. Komplikasi akut

a. Hiperglikemia

s Diabetic ketoacidosis (DKA)

s Hyperglycemic hyperosmolar state (HHS)

b. Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat terapi insulin untuk DM tipe 1. Hipoglikemia juga menyerang pasien DM tipe 2; kebanyakan kasus terjadi selama pengobatan dengan insulin.

2. Komplikasi kronik

a. Vaskuler

o Mikrovaskuler

s Penyakit mata

- Retinopati (nonproliferatif/proliferatif)

- Makular edema

s Neuropati

- Sensorik dan motorik (mono- dan polineuropati)

- Autonomik

s Nefropati

o Makrovaskuler

s Coronary artery disease

s Peripheral artery disease

s Cerebrovascular disease

b. Other

o Gastrointestinal (gastroparesis, diare)

o Genitourinaria (uropati/disfungsi seksual)

o Dermatologik

o Infeksi

o Katarak

o Glukoma

v Penatalaksanaan

Dalam jangka pendek penatalaksanaan DM bertujuan untuk menghilangkan keluhan/gejala DM. Sedangkan tujuan jangka panjangya adalah untuk mencegah komplikasi.

§ Perencanaan Makanan

Satandar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi seimbang berupa karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, dan lemak 20-25%. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal

§ Latihan Jasmani

Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama +/- 0,5 jam yang sifatnya sesuai dengan continous, rhytmical, interval, progresive, endurance training. Latihan dilakukan terus-menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan ralaksasi secara teratur, selang-seling antara gerak cepat dan lambat, berangsur-angsur dari sedikit ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu, misalnya jalan kaki, jogging, lari, rnang, bersepeda dan mendayung. Sedapat mungkin mencapai zona sasaran yaitu 75-85% denyut nadi maksimal.

DNM= 220-umur (dalam tahun)

Hal yang perlu diperhatikan: olahraga dilakukan sebelum makan, memakai sepatu yang pas, harus didampingi oleh orang yang tahu mengatasi serangan hipoglikemia, harus selalu membawa permen, membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam pengobatan, dan memeriksa kaki secara cermar setelah olahraga.

§ Obat berkhasiat Hipoglikemik

a) Sulfonilurea

Cara kerja: menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin, meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Diberikan pada pasien dengan berat badan normal

b) Biguanid

Bekerja dengan menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai di bawah normal. Preparat yang ada dan aman adalah metformin. Dianjurkan untuk pasien gemuk dengan IMT>30. Pasien dengan IMT 27-30 dapat dikombinasikan dengan golongan sulfonilurea.

c) Inhibitor α glukosidase

Ekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α glukosidse dalam saluran cerna, sehinga menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia pascaprandial.

d) Insulin sensitizing agent

Thoazolidinediones adalah golongan obat baru yang mempunyai efek sensitivitas insulin, sehingga bisa mengatasi resistensi insulin.

e) Insulin

Indikasi penggunaan insulin pada NIDDM adalah

§ DM dengan berat badan menurun cepat/kurus

§ Ketoasidosis, asidosis laktat, dan koma hiperosmolar

§ DM yang mengalami stres berat

§ DM dengan kehamilan

§ DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosis maksimal